Yup, begitulah artikel kompas hari ini soal olahraga Angkat Besi yang sudah tiga olimpiade berturut-turut meraih medali untuk Indonesia. Tahun ini Angkat Besi kembali membuat bendera Merah Putih berkibar di pentas olahraga tingkat dunia, lewat 2 lifter nasional Triyatno dan Eko Yuli Irawan.
Lagi-lagi, sebuah hasil maksimal dari sebuah persiapan yang tidak maksimal. Mengutip artikel di kompas, disebutkan persiapan tim Angkat Besi baru 1-2 tahun menjelang olimpiade digelar. Wah bagaimana ya kalau persiapannya lebih serius dan lebih panjang lagi.
Belum lagi di salah satu tv nasional, dipertontonkan bahwa Triyatno dulu awalnya latihan angkat besi lantaran diberi uang, bukan karena dia suka dan merasa punya ‘passion’ di olahraga ini.
Memang agak sulit untuk membuat orang tertarik dengan olahraga yang kurang populer namun berprestasi international. Saya dan mungkin sebagian besar orang di indonesia malah tidak ingat dengan nama para pahlawan olahraga yang meraih medali dari angkat besi di olimpiade Sydney 2000 dan Athena 2004.
Yang saya ingat adalah peraih medali emas olimpiade dari cabang bulutangkis. Bulutangkis, seperti cabang Angkat Besi selalu menyumbang medali (tradisi emas, bahkan) untuk Indonesia sejak cabang ini dipertandingkan di olimpiade.
Walau lebih populer dibanding angkat besi, Bulutangkis pun mulai merosot popularitas dan prestasinya. Masih beruntung kita ada Trans TV yang pada Piala Thomas-Uber lalu cukup ‘kencang’ mengangkat kebanggaan akan olahraga yang dulunya sempat sangat kuat popularitas dan prestasinya ini. (Saya malah waktu kecil ikut antri untuk foto bareng dengan Piala Thomas)
Namun popularitas olahraga kebanggaan kita ini pun mulai surut seiring dengan merosotnya prestasi para atlit bulutangkis. Yang saya takutkan dengan makin banyaknya pemain Indonesia ‘dibajak’ ke luar negri sebagai pemain import disana dengan segala fasilitas yang memadai, maka prestasi bulutangkis kita pun makin menurun. Bahkan ada yang sampai pindah warga negara… wah wah wah… sayang sekali ya… sementara negara lain makin maju prestasinya, kita kok malah merosot.
Sadarkah kita bahwa Jakarta tidak memiliki stadium yang standar international untuk menggelar pertandingan bulutangkis? Istora tidak dirancang untuk memiliki AC sehingga pada saat pertandingan, semburan AC mengganggu arah dan laju shuttle cock.
Padahal animo masyarakat masih cukup kuat, saya saja tidak kebagian tiket semifinal Thomas dan Final Uber Cup lalu. Antrian panjang penonton bulutangkis juga terlihat di depan Istora. Kalau mau beneran belajar dari beberapa negara luar (studi banding beneran), indoor stadium bisa dirancang untuk beberapa fungsi, seperti olahraga, musik, exhibition dan banyak hal lain yang profitable.
Bayangkan bila gedung tersebut juga memampang semua prestasi olahraga bulutangkis kita layaknya sebuah musium modern yang nyaman didatangi… Cross our finger… we will have it in the future.
Every business is a creative business… including sport business 😉
Recent Comments