Saya baru pulang dari Malang. Saya menjadi salah satu pembicara di Djarum Black Innovation Awards goes to Campus. Di pesawat Sriwijaya Air, saya membaca rencana ‘Visit Babel Archipelago 2010’ yang dicanangkan oleh Menteri Perhubungan – Jusman Syafii Djamal, Dirjen Pemasaran DepBudPar – Sapta Nirwandar, Gubernur Bangka Belitung – Eko Maulana Ali dan pejabat lokal lainnya untuk merencanakan Tahun Kunjungan Wisata Bangka Belitung.
Memang sejak Laskar Pelangi naik ke layar lebar, Belitung langsung naik daun dan mendadak orang terkesima dengan indahnya daerah tersebut.
Setelah tambang timah tak lagi menjadi andalan, pariwisata sangat strategis dijadikan pemasukan untuk daearah ini. Apalagi jaraknya hanya 50 menit dengan pesawat udara dari Jakarta. Belum lagi kalau ingin meraih wisatawan asal Singapore dan Malaysia.
Belajar dari Inggris yang pabrik-pabriknya tutup lantaran kalah bersaing dengan pabrik-pabrik asal China, mereka maju lewat industri kreatif. Saya sempat ke Manchester dalam rangka kompetisi International Young Creative Entrepreneur of the Year di tahun 2006, pabrik-pabrik disana dilestarikan dan dijadikan obyek wisata.
Di luar sana, pemerintah pusat dan pemerintah lokal membuat konsep jangka panjang dalam perencanaan promosi kota. Contoh yang paling legendaris adalah Museum Guggenheim di Bilbao yang dirancang oleh arsitek kenamaan Frank Gehry dan dibuka untuk umum di tahun 1997. Dua tahun kemudian, museum ini masuk dalam film James Bond berjudul The World is not Enough dan setelah itu jumlah turis yang datang untuk melihat museum tersebut lanjut meledak. Kejadian ini kemudian dikenal dengan sebutan ‘Bilbao Effect’ dan memberi inspirasi untuk banyak ‘wow-factor’ architecture dimana-mana.
Kalau kita melongok New York, kota yang sempat kena serangan bom 911, namun berbagai plot film yang diambil disini membuat turis seakan tak berhenti untuk datang. Mulai dari Patung Liberty, berbagai pertunjukan theatre di Broadway, Central Park, Manhattan, Times Square sampai toko dessert bernama Serendipity yang semuanya muncul di film-film blockbuster membuat New York tetap ramai pasca bom di WTC. Banyaknya turis juga ditunjang dengan semakin baiknya polisi NYPD menjaga jalanan aman, tidak seperti dulu yang sangat berbahaya jalan. Jadi infra-structure juga harus siap untuk menampung 40 juta turis setiap tahunnya.
Jadi bayangkan kalau di saat film Laskar Pelangi diputar, segala infra-structure pariwisata di Bangka Belitung sudah siap jual…. tentu momentumnya akan sangat luar biasa.
Anyway, better late than never… semoga kota-kota lain melalui APBD nya semakin kreatif menggunakan budget tersebut… masih banyak keindahan alam yang bisa diangkat… masih banyak area yang bisa dibangun ‘wow-factor’ architecture sehingga mengangkat area tersebut dan memberi nilai ekonomi lebih.
Laskar Pelangi telah membuka jalan…
Bro, have u any video sample of brand activation or integrated marketing communication one? or maybe u can help me any media source of it (website, book, blog, or etc). surely appreciate of this. Thank u
betul banget….kekuatan film memang mampu mengangkat hal2 yang sifatnya ‘ada’ tapi ‘tidak disadari’…seperti ruang dan alam….
sebagai bagian dari media proosi
sering juga jadi agen perubahan
media pembelajaran informal
sentuhan personal memang yang paling dulu mengena di benak dan di hati
di saat ‘sesuatu’ memiliki kesan…segala hal yang melekat padanya plus kondisi di sekitarnya seolah memiliki nilai lebih dan jaminan mutu…
syukur-syukur kalo akhirnya juga membangun kesadaran utk mencintai segala hal, sekecil apapun hal ini
dan tidak hanya sekedar jadi tren
Apakah sebutan “Paris van Java” juga salah satu bentuk ‘creative city branding’ ? Thx.
Paris Van Java, bisa menjadi creative city branding kalau memang secara sengaja pemda bandung membuat konsep tersebut.
Hanya kayaknya PVJ hanya menjadi salah satu sebutan… bukan city branding
setuju..
dan bagaimana dengan bandung???
gimana pak Dada
yup ‘Paris Van Java’ bisa menjadi bentuk ‘creative city branding’ kalau memang grand strategy dari kota bandung diarahkan ke Paris… tapi tampaknya nggak ya…
hhmmm… jogja yang kini sring dijadikan sebagai setting film, mengalami kenaikan jumlah pengunjung yg datang ke jogja. ya, film ternyata emang turut mengangkat brand sebuah kota. seperti kenalan saya dari batam dan jakarta yang datang ke jogja ketika libur bersama natal tahun baru kmrn. dia pengen meliat suanaa malioboro dimalam hari, kali urang, dan pantai parang tritis karena penasaran cuma ngeliat di film dan acara-acara TV. temen chating saya juga penasaran pengen ke sarkem gara-gara ngeliat film “Mengejar Mas-mas”.
tapi sayangnya film-film yang ber-setting jogja, pasti ga jauh dari hal-hal yang berbau sex, seperti yang saya lihat di film “perempuan punya cerita”. gimana ini solusinya, bang yoris..??
kayanya predikat kota pelajar sudah luntur, karena mahasiswanya tiap hari cuma clubbing dan free sex.
sebenarnya tidak apa-apa selama itu memang ‘REAL’
Kalau kita cermati kota New York… film2 jaman dulu selalu menunjukkan betapa bahaya nya New York… hati-hati kalau jalan bisa ditodong dan dompet pun melayang… jaman itu belum ada HP
Seiring dengan bergantinya walikota New York… Sang Walikota mulai berbenah dan pelan2 crime bisa diberantas… sekarang hampir semua film ber-setting New York sangat menyenangkan… jadi kalau kita kesana… tidak perlu takut ditodong lagi… dessert place ‘Serendipity’ antrian selalu panjang karena masuk dalam film berjudul sama…
Jadi Yogya seharusnya bisa mulai membangun citra baru yang ‘REAL’ sehingga lambat laun film2 nasional akan bertemakan itu.
Saya ambil contoh Bali yang kini dengan tagline ‘Shanti Shanti Shanti’ spirit kedamaian nya membuat Julia Roberts konon akan segera ke Bali untuk shooting film terbarunya yang berkisah tentang profesional worker dari New York yang mencari ketenangan dan kedamaian dengan melancong ke India dan Bali…
Lihat iklan Incredible India… sungguh menjual ketenangan dan kedamaian…
Mas Yoris klop nih pemikirannya, saya pernah membuat konsep city branding Pelabuhan Ratu dalam final project kuliah saya. Tujuannya biar dikenal dunia luar, punya tourism value yg lebih unik & menarik, devisa meningkat, dan akhirnya bisa meningkatkan ekonomi masyarakatnya. Cuma blm sampe eksekusi benerannya nih, lagi nyari link di pemda dan investor2 yg mungkin mau sumbang budget (pemilik resor,hotel dll) 🙂
Hallu mas Yoris, positioning city branding itu memang selalu didasarkan reality kaya jogja/new york gitu yaa? atau bisa didasarkan pada posisi baru?